Kamis, 07 Oktober 2010

Uang Bukan Kunci Perbaikan Kualitas Pendidikan


Anggaran pendidikan sering dituding sebagai penyebab morat-maritnya pendidikan di Indonesia. Betulkah demikian? Apakah dengan uang maka otomatis pendidikan akan membaik?
Beberapa hari lalu, dalam sebuah percakapan di salah satu milis yang saya ikuti, timbul pertanyaan seperti ini, “Apakah mungkin Indonesia memiliki siswa-siswa yang nomor satu cerdasnya?”. Sebuah pertanyaan yang mungkin terasa sederhana, bahkan tidak baru. Tapi sangat kuat mengisyaratkan kepedulian sang penanya akan nasib masa depan Indonesia. Untuk mencari jawabnya, kita perlu lebih dulu melontarkan pertanyaan awalan: negara mana sajakah yang sukses dalam mendidik siswanya, dan apa kiat yang mereka pakai?
Banyak orang berasumsi bahwa kualitas pendidikan dapat diperbaiki dengan uang. Misalnya dengan meningkatkan anggaran pendidikan, seperti yang dilakukan Inggris. Atau bisa juga dengan menyediakan gaji di atas rata-rata untuk profesi guru, dengan maksud agar mendapatkan guru-guru berkualitas, layaknya strategi yang dipakai Amerika. Namun ternyata kedua negara tersebut bukanlah negara-negara dengan prestasi pendidikan tertinggi, setidaknya jika dinilai berdasarkan prestasi murid sekolah dasarnya. Negara-negara terbaik dalam kategori ini adalah Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Lantas, apa persamaan strategi yang dipakai oleh kelima negara tersebut? Ternyata, menurut McKinsey -perusahaan konsultan yang terbiasa dimintai advis oleh perusahaan dan pihak pemerintahan-, resepnya hanya tiga:
  • Pastikan anda mendapatkan guru dengan kualitas terbaik,
  • Ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan
  • Segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka membutuhkannya.
Resep di atas begitu sederhananya sehingga banyak pihak dengan skeptis bertanya, “Apakah Inggris dan Amerika tidak pernah menerapkannya sebelumnya?” Ternyata memang tidak.
Berkaitan dengan resep nomor satu, lagi-lagi, ternyata memang uang bukanlah kunci untuk segalanya. Negara Jerman, Spanyol, Swiss menyediakan gaji guru lebih tinggi dari rata-rata, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, strategi yang dijalankan Singapura dan Finlandia, misalnya, cukup sederhana: jumlah kursi masuk yang tersedia di institusi pelatihan menjadi guru (di Indonesia, dulu disebut IKIP) dibatasi, cukup hanya sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Dengan demikian, saringan masuk menjadi terjaga kualitasnya, para guru yang lulus dari pelatihan tersebut dijamin mendapat pekerjaan, negara tidak perlu menyediakan gaji di atas rata-rata bagi para guru, sementara status profesi guru di masyarakat pun menjadi tinggi.
Sedangkan pada resep nomor dua, negara Jepang memiliki strategi cukup unik: mereka menyediakan forum antar guru, sehingga mereka dapat bertukar informasi, baik keberhasilan dalam menerapkan tips tertentu dalam mengajar maupun kesulitan praktis yang dihadapi di lapangan. Ini berbeda dengan di Amerika, misalnya, di mana kesuksesan seorang guru yang inovatif tidak menular ke guru-guru lainnya, karena memang tidak ada wadah yang kondusif untuk itu.
Resep yang ketiga diimplementasikan oleh Singapura, misalnya, dengan cara menyediakan kelas khusus bagi para siswa yang performansinya termasuk paling rendah di kelasnya. Dalam kelas-kelas khusus ini, para guru berdedikasi membantu para siswa hingga setelah jam sekolah usai.
Sekali lagi, tiga resep di atas mematahkan asumsi bahwa uang adalah segalanya, termasuk untuk memecahkan lingkar masalah di dunia pendidikan. Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Pertanyaan yang dilontarkan di awal artikel ini, yaitu “apakah mungkin Indonesia memiliki siswa-siswa yg nomor satu cerdasnya?” bisa dijawab dengan mencoba menilik sejauh mana negara kita telah mencoba menerapkan tiga resep tersebut.